Kamis, 21 Mei 2009

Memahami Keutuhan Jiwa

KETIKA berbicara tentang stres, biasanya seseorang mengarah kekepalanya, seolah rasa tertekan itu bersarang di kapalanya. Padahal tidak, stres itu adalah tekanan yang menimpa jiwa, merasakan hati, melemahkan mental, bahkan mengundang gangguan penyakit fisik. Jadi, sekujur tubuh seorang penderita stres, lahir dan batin, semua meresakan tekan. Adapun yang paling tertekan adalah titik inti perasaan manusia itu sendiri, yaitu hati (qalbu).
Ada sebuah hadist nabawiyyah yang bisa membantu memahami persoalan ini. Rasulullah saw. Bersabda,
“ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, namun jika ia buruk maka burulah seluruh tubuh. Ketauilah bahwa ia adalah qalbu (hati).” (HR.Bukhari-Muslim).
Di hadist lain, Rasulullah menggambarkan hubungan antara satu bagian tubuh dan bagain-bagain lain. Beliau bersabda,
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam rasa saling cinta, saling mengasihi, saling menyayangi, antarsesama mereka seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh mengadu kesakitan maka menjalarlah rasa sakit itu keseluruh bagian tubuh sehingga semua terjaga (tidak bisa tidur) dan merasa panas. “(HR.Bukhari-Muslim).
Kedua hadist di atas berisi perumpamaan; satu berbicara tentang pengaruh kondisi hati bagi hidup seseorang, satu lagi berbicara tentang suasana persaudaraan antarsesama mukmin. Namun keduanya sama dalam menggambarkan pengaruh sebuah persoalaan yang menyebar hingga ke seluruh bagian.
Tekanan stres pun seperti itu. Bermula dari perasaan yang sangat tertekan, lalu keseluruhan hidup menjadi terasa sempit dan terganggu. Andai perasaan itu tenang, hati itu tentram, jiwa itu damai, maka keseluruhan bagian tubuh, dalam atau luar, akan ikut merasa tenang pula. Artinya, perhatian kita harus diarahkan kepada perbaikan kondisi jiwa (hati), sebab ia menjadi pusat kehidupan manusia.
A. Konsumsi Jiwa
Dari mana kita mulai upaya membangun solusi stres ini?
Dengan tegas saya katankan bahwa awal dari upaya ini adalah keharusan untuk memahami karakter jiwa manusia. Di sini saya tidak akan mengajak pembaca menelusuri teori-teori kejiwaan yang rumit-rumit, sebab hal itu tidak banyak berguna. Setahu saya, ajaran Islam telah membahas persoalan jiwa secara memadai, mudah di pahami, dan bersifat aplikatif. Namun, sering datangnya para “pakar jiwa” yang sangat terpesona oleh pikiran-pikiran Yunani dan kebatinan itu, persoalan ini menjadi sangat rumit. Jiwa manusia serupa dengan jasadnya dalam hal membutuhkan sesuatu. Jika jasad membutuhkan konsumsi berupa makanan, air, oksigen, olahraga, istirahat, dan lain-lain, maka jiwa pun membutuhkan konsumsi pula. Hanya saja, konsumsi jiwa berbeda dengan konsumsi tubuh, sebab zat jiwa berbeda dengan zat tubuh.
Jika manusia tidak makan-minum selama berhari-hari atau tidak menghirup oksigen lebih dari lima menit, dia bisa mati. Ini sudah sunnatullah (hukum kejadian yang berlaku dalam kehidupan dan alam). Demikian pula dengan jiwa kita, jika ia tidak di beri konsumsi maka jiwa itu akan rusak, sakit, atau menderita. Stres terjadi karena kita terlalu berpikiran tentang konsumsi tubuh, lalu mengabaikan konsumsi jiwa.
Padahal, keduanya harus diperhatikan dengan penuh kesungguhan. Minimal, sehat jiwa itu lebih utama daripada sehat fisik saja.
Dimana-mana mudah di jumpai tubuh yang sehat, tegak, tampan dan cantik. Namun dibalik keindahan tubuh itu kerap tersembunyi jiwa yang sakit, “lumpuh”, di selimuti “nanah”, dan, “luka-luka” membusuk. Andai sakit jiwa manusia bisa di lihat dengan mata telanjang, tentu kita akan ketakutan melihat jiwa-jiwa kita sendiri, seperti orang ketakutan melihat penderita kusta (lepra).
Mungkin timbul pertanyaan. Jika jiwa butuh makan, lula makan jiwa itu apa? Dimana bisa di dapat? Berapa harganya? Dan, bagaimana cara memakannya? Tentu saja, makanan bagi jiwa berbeda dengan makanan bagi tubuh, sebab sifat kedua zat itu berbeda. Makanan utama jiwa manusia adalah keimanan dan zikir.
Jiwa itu seperti tempayan, wadah air, jika tempayan tidak berisi air, ia akan ringan, mudah bergerak-gerak, lalu jatuh berantakan paling tidak, tempayan itu menjadi wadah tidak berguna, berdebu, menjadi sarang laba-laba. Begitu pula, jika tempayan tersebut berisi air kotor, limbah hitam-legam, berminyak, menebar bau busuk, maka semua orang yang akan menjauhinya.
Jiwa kita jika tidak berisi iman ia seperti barang yang tidak berguna, kosong, rapuh, bahkan menjadi sarang sifat-sifat tercela. Akan tetapi, jika dia berisi keyakinan-keyakinan yang salah, ia seperti tempayan kotor yang membuat muntah setiap orang yang melihatnya. Jiwa itu harus berisi, sedang isinya adalah air yang jernih, bening, berisi, segar. Air itu adalah iman (tauhid) kepada Allah swt..
B. Proses Keimanan
Kimanan adalah anugerah agung yang di karuniakan Allah kepada manusia. Dengan keimanan, manusia menemukan jalan terang di tengah kegelapan hidup. Di sana manusia menemukan jati diri hidupnya. Manusia tidak akan pernah menemukan makna hakiki kehidupannya, selain hanya dengan menyandang iman di dada.
Karakter iman ini sangat spesifik. Ia bersemayam dalam dada manusia atas kehendak Allah ta’ala. Keimanan merupakan hak prerogatif Allah untuk memberikannya kepada siapapun yang dia kehendaki dari hamba-hamba-nya. Bahkan, para nabi dan Rasul pun tidak bisa menjadikan orang yang mereka kasihi beriman.
“sesungguhnya engkau (Muhammad saw.) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada siapa yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-Qashash [28]:56)
Keimanan sendiri ketika sudah berada dalam dada, ia tidak bersifat tetap, tetapi dinamis (bertambah atau berkurang) . keimanan semakin tebal dan amal-amal saleh yang dilakukan, sedang ia semakin tipis dengan amal-amal buruk yang dilakukan. Ketika seseorang sudah beriman tidak otomatis iman itu akan terus bersamanya. Jika dia tidak memelihara diri dengan kebaikan-kebaikan, serta menjauhkan dari keburukan-keburukan, imannya bisa semakin terkikis.
Nabi saw. Bersabda,
“Iman itu ada 70 atau 60 cabang. Cabang yang paling utama adalah perkataan laa ilaaha illallah dan cabang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu itu merupakan salah satu cabang dari iman.” (Hr Bukhari-Muslim)
Proses untuk meraih keimanan merupakan sebuah rangkaian perjuangan yang terdiri dari beberapa upaya, yaitu sebagai berikut.
1. Mempelajari ilmu wahyu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah (hadist-hadist Nabi saw. yang sahih). Wahyu merupakan sumber kebenaran hakiki, besifat mutlak, mengikat semua orang yang mengimaninya.
2. Membenarkan keteranagan-keterangan ilmu, tanpa banyak bertanya mengapa dan bagaimana. Tidak menjadikan alasan logis, pendapat pakar, atau penelitian modern sebagai syarat untuk beriman. Nabi dan para sahabatnya tidak pernah menjadikan semua itu sebagai standar untuk mengimani Al-Qur ‘an. Mereka mendengar dan menaati.
3. Mengamalkan nilai-nilai ilmu, baik melalui keyakinan di hati, perkataan lisan, maupun melalui perbuatan. Ilmu tidak hanya di yakini tapi juga harus di amalkan. Sebaiknya, ilmu tidak cukup hanya di amalkan, tapi juga harus di yakini di hati. Antara keyakinan dan amal, keduanya saling beriringan.
4. Bersabar dalam mencari ilmu, mengimaninya, serta mengamalkannya. Keimanan akan berhadapan dengan banyak ujian maka cara menyikapi ujian-ujian itu adalah dengan bersabar.
5. Senantiasa bersemangat untuk memperbaiki diri dengan cara menambah ilmu, keimanan, dan amal, sampai saat datangnya ajal.
Inilah pola hidup orang-orang beriman. Sepanjang hayat, mereka terus berjalan mendaki jalan keimanan. Di sepanjang jalan itu terdapat ujian-ujian. Selesai satu ujian, segera di susul ujian-ujian berikutnya. Jalan demikian terus di lalui hingga seorang mukmin berjumpa dengan Allah swt.
“Dan sembahlah Rabbamu hingga datang kepadamu yang di yakini (ajal).” (al-Hijr [15]: 99)
C. keterbatasan Akal Manusia
Jalan keimanan sebernarnya sangatlah sederhana, tidak serumit gambaran-gambaran yang di lukiskan kaum sufi, ahli filsafat, atau penempuh jalan kebatinan. Kita hanya dituntut untuk mempelajari ilmu (wahyu), mengimaminya, lalu mengamalkannya sekuat tenaga. Jika kita tetap tegar menempuh jalan ini. Meskipun berbagai cobaan yang menghadang, perlahan-lahan iman itu akan tumbuh di dada. Allah sendiri yang bertanggung jawab menanamkannya di hati kita.
Sebagian orang melakukan semedi, yoga, senam pernapasan, relaksasi, membaca mantra-mantra, bahkan ada yang mengonsumsi obat-obat terlarang, agar jiwa mereka tentram dan damai. Namun, cara seperti itu tidak akan membawa banyak arti, bahkan sebagian merusak. Jiwa kita tidak akan tentram kecuali mendekati Sang Pencipta jiwa itu sendiri, yaitu Allah ta’ala!
“Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad saw.) tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Israa’ [17]: 85)
“hai manusia, sesungguhnya telah datng kepadamu pelajaran dari tuhan yang penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus [10]: 57)
Bagi kaum rasionalis (para pemuja akal), merela tidak puas dengan metode seperti ini. “kalau hanya mengimani Al-Qur‘an, lalu hati kita menjadi tenang, itu tidak menantang. Akal kita tidak bisa puas hanya dengan cara seperti itu. Kita butuh tantangan-tantangan yang akan memuaskan akal. Kita harus bisa menbuktikan kepada orang-orang nonmuslim bahwa Al-Qur‘an ini logis, ilmiah, dan scientific.” Kurang lebih seperti itu keyakinan mereka. Sungguh, keyakinan seperti itu tidak menunjukan bukti kepandaian, kualitas intelektual, kuatnya ide, atau teguhnya pendapat. Ia justru mencerminkan ketergesah-gesahan dalam berpendapat. Di sini ada beberapa catatan penting insya Allah menjawab pandangan seperti itu.
1. Fungsi akal manusia adalah sarana untuk memahami, bukan sebagai hakim, penentu, atau rujukan mutlak untuk memastikan sebuah kebenaran hakim atas seluruh kebenaran adalah wahyu Allah (Al-Qur ‘an dan sunnah). Mengapa? Sebab akal manusia bisa salah, lupa, atau melemah, tapi kitab Allah terpelihara (surah al-Hijr: 9) lagi pula, andai akal manusia bisa di jadikan rujukan tertinggi dalam kebenaran maka semua orang bisa menjadi sumber kebenaran sehingga tidak perlu lagi di utus nabi dan Rasul, tidak perlu ada kitab suci, tidak perlu ada agama dan sebagainya, sebab manusia sudah bisa memimpin dirinya sendiri.
2. Metode logika, ilmiah, atau scientific sifatnya sangat relatif, labil, kondisional. Ia tidak bisa dijadikan dasar untuk memastikan nilai kebenaran. Tidak setiap ada logis selalu benar. Tidak setiap bukti ilmiah akan tetap di pandang ilmiah setelah waktu berubah. Tentu scientific hanya bisa diterima selama belum bisa di temukan temuan-temuan baru. Bahkan, sudut pandang sains itu sendiri beragam. Apa yang disebut benar menurut seorang ahli fisika belum tentu benar menurut pakar biologi, psikologi, hukum, bahkan antarsesama pakar fisika. Contoh sederhana adalah teori relativitas Einstein. Teori ini diakui sebagai pilar kajian fisika modern. Namun, banyak fisikawan kontemporer yang menggebu ingin menjatuhkan teori tersebut. Jika Einstein masih hidup, dia pasti akan terus dihantui rasa cemas melihat tingkah para juniornya gemas dengan teori itu. Bedasarkan relativitas Einstein, konon manusia bisa berpindah kedimensi waktu lampau atau ke dimensi masa depan. Dalam film-film ide seperti ini di wujudkan dalam bentuk mesin waktu. Mungkin saja, secara matematis, teori seperti itu bisa diterima, tetapi ide perpindahan dimensi waktu sangatlah mengada-ada. Ia adalah ide yang hanya menarik minat para fisikawan, tetapi tidak realistis.
3. Tujuan hidup semua manusia adalah meraih bahagia, sedangkan wujud kebahagiaan tertinggi adalah ketentraman hati ( sakinatul qulub ). Orang-orang rasionalis telah ditunjuki jalan yang mudah untuk mencapai ketenangan hati, yaitu beriman kepada wahyu. Akan tetapi sayang, mereka lalu mengatakan, “Cara seperti ini tidak menantang” lalu, apa yang sebenarnya yang mereka cari? Apakah jika semua persoalan telah mereka pahami secara logis dan ilmiah, hal itu akan membuat mereka puas, sejuk hatinya, dan tentram jiwanya?. Dengan mengantungkan diri kepada metode logik, mereka justru mudah di guncang perselisihan pendapat. Suatu saat hati mereka tentram dengan mengikuti satu pendapat tertentu, namun ketika muncul pendapat baru yang berbeda, hati mereka di landa kecemasan hebat. Bahkan kadang ketika kecemasan itu sudah memuncak mereka kerap bertindak membabi buta. Saya pernah berdialog seorang pengagum ilmu fisika. Orang ini bukan akademis, tetapi pecandu buku-buku sains. Di usai tuanya, dia kait-kaitkan pemikiran sains yang dia pahami dengan akidah Islam. Akan tetapi, konsep berpikir orang itu seperti para “tukang hitung” yaitu berjualan rumus-rumus metematika di pinggir jalan untuk menebak nomor kupon judi yang keluar. Di sini tidak ada kerangka yang jelas, satu-satunya kerangka adalah: pokoknya menyambung!. Pada mula ia sangat berbangga dengan wawasan yang dia miliki. Dia bahkan sesumbar mampu menjatuhkan teori relativitas Einstein. (Saya bukan penggum Einstein.Hanya merasa lucu ketika ada orang-orang amatir yang berbangga diri telah menjatuhkan sesuatu yang oleh di pandang umum besar). Ketika sudah cukup lama berbicara, saya coba sedikit-sedikit mengajukan kritik, sikapnya mulai berubah. Dia mulai tegang, tidak tenang berbicara tinggi, napasnya kelihatan turun-naik. Sejak itu dialog menjadi kurang harmonis, ketika orang itu pergi berlalu, saya memandanginya dari kejauhan. Saya perhatikan kemeja batik yang dia kenakan. Wawasan intelektual seharusnya membuat seseorang berjalan tegak dan kokoh di mika bumi, tapi kebanyakan justru membuat para pemiliknya di landa kecemasan
4. Sebagian orang bersikap sombong di hadapan Al-Qur ‘an. Mereka menyamakan ayat-ayat Allah dengan pemikiran-pemikiran menusia. “Al-Qur ‘an ini hanya wacana saja. Boleh diambil, boleh tidak. Ia sama seperti buku-buku yang lain.” Kata mereka. Duhai Rabbi, nilai manusia-manusia itu dan seluruh stok menusia serupa di muka bumi, tidak melebihi nilai satu haruf Al-Qur ‘an. Ratusan atau ribuan filosof Yunani lebih pintar dari mereka. Namun, modal kepintaran Yunani tidak membuat mereka berhak mendapatkan anugrah wahyu dari langit. Akhirnya, mereka mencari-cari kebenaran hanya dengan modal otak dan rasa hingga akhirnya mereka jatuh dalam kesesatan dan gelap gulita.
Beriman kepada ilmu yang jelas-jelas datang dari Allah adalah sesuatu nikmat yang agung. Banyak orang ingin beriman, namun Allah tidak menunjuki hati mereka. Begitu pun tidak sedikit manusia yang tampak lemah ( di mata manusia ), namun Allah memberikan keimanan sekokoh batu karang.
Dalam buku Capita Selecta, buya muhammad Natsir mengutip ucapan Profesor Paul Ehrenfest, seorang fisikawan yang terpandang di Nutseminarium Amsterdam. Profesor Ehrenfest adalah seorang pencari kebenaran yang gagal menumukan apa yang dia cari, lalu dia mati dalam keadaan bunuh diri. Sebelum bunuh diri, dia membunuh anaknya sendiri.
Kepada seorang koleganya. Profesor Ehrenfest berkata,
“Yang tidak ada pada saya ia kepercayaan kepada Tuhan. Agama adalah perlu. Akan tetapi barangsiapa yang tidak mampu memiliki agama, ia mungkin binasa lantaran itu” (M. Natsir, Capita Selecta [1973: 141]).
D. Sikap Rendah Hati
Keimanan (Tauhid) merupakan modal paling dasar untuk hidup tenang dan bebas dari tekanan stres. Stres terjadi karena jiwa tidak menemukan tempat hidupnya. Iman itu seperti udara (oksigen) bagi manusia atau ia serupa dengan air bagi ikan. Siapa pun yang tidak hidup di alamnya, ia akan menderita. Manusia akan mati tanpa udara, seperti halnya ikan akan mati karena kekeringan.
Dalam kenyataan, banyak orang memilih cara kebebasan nafsu untuk meraih kepuasan. Sebagian lain lebih meyakini kekuatan materi (uang). Ada pula yang menyukai metode kerumitan logika-logika. Bahkan, ada yang memuja temuan-temuan sains. Orang-orang sekuler meyakini dalam hatinya, “kami sanggup membanggu hidup tanpa bantuan Tuhan.”
Mengambil jalan selain jalan keimanan hanya akan berujung dalam kesempitan. Jiwa manusia sejak awal telah di ciptakan di atas ketetapan-ketetapan iman. Jika jiwa itu mengingkari keimanan, apa pun asalanya, dia akan menderita. Hal ini merupakan kepastian yang kita temukan dalam Al-Qur ‘an.
“… Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah [2]: 229)
“… Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allh maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri….” (ath-Thalaaq [65]: 1)
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanku, maka sesungguhnya baginya penghi-dupan yang sempit, dan kami akam menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” ( Thaahaa [20]: 124)
Seseorang yang menyelisihi jalan iman pada dasarnya hanya menyiksa diri sendiri. Orang-orang itu hidup di dunia tanpa bimbingan, tanpa perlindungan, tanpa kabar gembira, tanpa harapan pahala, tanpa ketenteraman jiwa, dan seterusnya. Mengapa? Mereka telah memustuskan hubungan dengan zat yang menjadi sumber bimbingan, perlindungan, kabar gembira, harapan, ketenteraman, dan segala kebaikan. Itulah Allha swt..
“Maka siapa yang mengingkari Thagut (segala sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegangan kepada simpul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-baqarah [2]:257).
Hal seperti ini adalah sesuatu yang nyata, sangat jelas, tidak tertutupi oleh penghalang dalam bentuk apa pun. Kenyataan ini sangat di rasakan oleh manusia-manusia yang tidak memiliki iman di hati-hati mereka. Meskipun mulut berkata yang lain, meskipun akal sangat ingkar, namun hati mereka tidak mampu berdusta atas penderitaan besar karena jauh dari Tuhan (baca: Allah Ta ‘ala).
Terkadang, peringatan Allah ditunjukkan di depan mata mereka dalam bentuk musibah-musibah yang mengguncangkan hati, misalnya berupa kematian, kebangkrutan secara tiba-tiba kegagalan menyakiti, peristiwa tragis aib-aib yang terbongkar luas, bencana alam, dan lain-lain. Setelah peringatan,itu sebagian mereka sadar diri, namun sebagian yang lain tetap dalam durhaka.
Kita sangat membtuhkan iman (tauhid) kepada Allah azza wa jalla. Ia bukan hanya menjadi penyelamat kehidupan, menjadi sebab kesejahteraan, dan menjadi syarat meraih surga, melainkan juga menjadi syarat ketentraman jiwa. Tanpa ketentraman jiwa, meskipun dia memiliki kekayaan materi melimpah ruah. Sungguh, tidak rugi sama sekali untuk beriman, sebab ia sangat di butuhkan oleh manusia melebihi kebutuhan-kebutuhan lain.
Di sini, setiap orang benar-benar berendah diri di hadapan Allah. Janganlah ada kesombongan, seolah Allah membutuhkan kita, seolah Allah memaksa kita beriman, seolah dunia ini akan sepi jika kita tidak menjadi hamba-Nya yang beriman kepadanya. Sungguh, Allah MahaKaya tidak membutuhkan apa pun dari siapa pun, dalam bentuk apa pun.
“Wahai manusia, kalian ini adalah orang-orang faqir (yang membutuhkan) kepada Allah. Dan Allah itu MahaKaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir [35]: 15).
“Dan Musa berkata, ‘jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’” (Ibrahim [14]: 8 )
Sungguh, kita membutuhkan Allah, bukan dia yang membutuhkan kita. Kita membutuhkan iman sebab hanya dengan iman itu kita bisa mengenal Allah dan beribadah kepada-Nya. Tanpa keimanan dan karunia Allah, hidup kita tidak memiliki arti apa pun, baik sedikit maupun banyaknya.
Wallahu a’lam bish –shawwab.